Minggu, 26 Januari 2014

Review Materi - Kedudukan Psikologi Sebagai Suatu Ilmu



BAB I
KEDUDUKAN PSIKOLOGI SEBAGAI SUATU ILMU


Deskripsi Singkat
Bab ini membahas mengenai kedudukan psikologi sebagai suatu ilmu, hubungan psikologi dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungan timbal balik antara psikologi dan ilmu-ilmu lainnya.
Relevansi
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan secara terperinci tentang kedudukan psikologi sebagai suatu ilmu serta  bagaimana psikologi dan ilmu-ilmu lainnya saling berhubungan dan saling bertimbal baik.
Kompetensi
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang kedudukan psikologi sebagai suatu ilmu termasuk hubungan serta timbal balik antara psikologi dengan ilmu-ilmu lainnya.

PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Upaya untuk mendefenisikan psikologi adalah suatu pekerjaan yang sulit, karena luasnya cakupan yang menjadi permasalahan dan adanya perbedaan filosofis di antara para praktisi. Namun defenisi yang biasanya digunakan adalah : psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia dan binatang, serta penerapannya pada permasalahan manusia (Morgan, 1987).
Ditinjau dari segi bahasa, perkataan psikologi berasal dari perkataan psyche yang diartikan jiwa dan perkataan logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Karena itu perkataan psikologi sering diartikan atau diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau disingkat ilmu jiwa.

Namun demikian ada sementara ahli yang kurang sependapat bahwa pengertian psikologi itu benar-benar sama dengan ilmu jiwa, walapun ditinjau dari kedua istilah itu sama.
Psikologi merupakan ilmu jiwa yang ilmiah, yang scientific. Karena itu dalam mempelajari psikologi harus dari sudut ilmu, psikologi sebagai suatu science. Hal ini juga dikemukakan oleh Sartain dkk. (1976:3) Many people now insist on studying psychology as a science.
Psikologi sebagai suatu ilmu, psikologi merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian-penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah adalah penelitian yang dijalankan secara terencana, sistematis, terkontrol, dan dalam psikologi berdasarkan atas data empiris. Karena itu salah satu salah satu ciri psikologi sebagai suatu ilmu adalah berdasarkan atas data empiris, di samping data tersebut diperoleh secara sistematis (Morgan, dkk., 1984).
Hal itu juga dikemukakan oleh Passer dan Smith (2004) bahwa psikologi sebagai suatu ilmu is imperical. Psikologi sebagai suatu ilmu banyak teori yang dikemukaan oleh banyak ahli. Suatu teori dalam psikologi harus dapat diuji (dites) dalam hal keajegannya dan keandalannya atau validitasnya. Ini berarti kalau penelitian ulang dilakukan oleh orang atau ahli lain, menurut langkah-langkah yang serupa dan dalam kondisi yang sama, ,ala akan diperoleh hasil yang konsisten, yaitu hasil yang sama atau hamper sama dengan hasil yang terdahulu. Apabila suatu teori atau hipotesis tidak dapat diuji (unstable) maka akan sulit dal itu dikatakan sebagai ilmu, dan menurut Townsend (1953) eksplanasinya akan merupakan eksplanasi yang mistis (mystical explanation).
Dalam pendekatan ilmiah akan diperoleh kesimpulan yang serupa bagi hamper setiap orang, karena pendekatan itu tidak diwarnai oleh keyakinan, keinginan serta perasaan pribadi. Cara pengambilan kesimpulan tidak subjektif, tetapi secara objektif. Karena itulah sifat objektivitas akan selalu dituntut dalam suatu ilmu. Dengan demikian maka dalam pendekatan ilmah orang akan selalu berusaha untuk memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan yang benar, dan kebenaran ini terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang ingin mengujinya. Demikian pula halnya dalam psikologi sebagai suatu ilmu.
Psikologi sebagai suatu ilmu, tidak lepas dari segi perkembangan dari psikologi itu sendiri serta ilmu-ilmu yang lain. Dari waktu ke waktu psikologi sebagai suatu ilmu akan mengalami perkembangan, sesuai dengan perkembangan keadaan. Oleh karena itu psikologi sebagai suatu ilmu mempunyai sejarah tersendiri, hingga merupakan psikologi dalam bentuk yang sekarang ini. Dari pemikiran para ahli  yang mungkin saling mempunyai pandangan yang berbeda akan memacu perkembangan dari psikologi itu. Secara jelas dan tuntas tentang perkembangan psikologi itu, akan dapat ditelaan dalam sejarah perkembangan psikologi.
Psikologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh karena jiwa itu sendiri tidak menampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah perilaku atau aktifitas-aktifitas yang merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa itu. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku maupun aktivitas-aktivitas lain. Karena itu psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan.
Dalam Jurnal berjudul “Encyclopedia of Human Behavior Psychology, Science, and Astrology” dari Kelly, I.W disebutkan :

Science and psychological science is characterized by an emphasis on the demonstration of its claims to the satisfaction of other scientists. To this end, theories are constructed, refined, tested against the alternatives, and reconstructed and refined, or rejected. Theories exist on a continuum regarding quality and usefulness. These attributes reflect the track record of past successes and the theory’s research potential. A good theory has successes in its own domain, has opened up new areas of successful research, and has been conceptually modified in light of research findings. Theories can also be evaluated on the basis of their promise or research potential. While the past track record of a theory is relevant to the consideration of a theory’s promise, other indices might be the production of analogies that direct researchers to examine problems in a new way, the introduction of new fruitful procedures for solving outstanding problems in an area, and the theory’s consistency with well-established findings/theories in related domains.

Sains dan ilmu psikologis ditandai dengan penekanan pada demonstrasi klaim terhadap kepuasan ilmuwan lain . Untuk tujuan ini , teori-teori yang dibangun , halus , diuji terhadap alternatif , dan direkonstruksi dan halus , atau ditolak . Teori ada di sebuah kontinum mengenai kualitas dan kegunaan . Atribut-atribut ini mencerminkan rekam jejak kesuksesan masa lalu dan potensi penelitian teori itu . Sebuah teori yang baik memiliki keberhasilan dalam domain sendiri , telah membuka daerah baru penelitian berhasil , dan telah dimodifikasi secara konseptual dalam terang temuan penelitian . Teori juga dapat dievaluasi atas dasar janji mereka atau potensi penelitian . Sementara track record masa lalu teori relevan dengan pertimbangan janji teori ini , indeks lain mungkin produksi analogi bahwa peneliti langsung untuk memeriksa masalah dengan cara yang baru , pengenalan prosedur berbuah baru untuk memecahkan masalah yang luar biasa di daerah , dan konsistensi teori dengan mapan temuan / teori dalam domain terkait.
1.2.  Rumusan Masalah
1.2.1.      Apa yang dimaksud dengan objek psikologi?
1.2.2.      Bagaimana letak psikologi dalam sistematika ilmu?
1.2.3.      Bagaimanakah hubungan psikologi dengan ilmu lainnya?
1.2.4.      Bagaimanakah hubungan timbal balik psikologi dengan ilmu lainnya?

1.3.  Tujuan
1.3.1.      Mengatahui tentang objek psikologi?
1.3.2.      Mengetahui bagaimana letak psikologi dalam sistematika ilmu?
1.3.3.      Mengetahui bagaimanakah hubungan psikologi dengan ilmu lainnya?
1.3.4.      Mengetahui bagaimanakah hubungan timbal balik psikologi dengan ilmu lainnya?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Objek Psikologi
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun, tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu. Kumpulan pengetahuan dapat disebut ilmu apabila memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu, baik ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memiliki kedua objek tersebut.
Objek material adalah sesuatu yang dibahas, dipelajari atau diselidiki (Sastropoetra, 1987:117;Mudhofir, 1996:6), atau suatu unsur yang ditentukan (Sunarjo, 1991:40), atau sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand). Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret (misalnya kerohanian, nilai-nilai, ide-ide). Gerungan (1987:42) merinci objek material pada fakta-fakta, gejala-gejala atau pokok-pokok yang nyata dipelajari dan diselidiki oleh ilmu pengetahuan.
Istilah objek material ini kerap disamakan atau ditumbuhkan dengan pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan ini perlu dibedakan atas dua arti (Mudhofir, 1996: 7). Arti pertama, pokok persoalan dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual. Misalya, penelitian tentang atom termasuk bidang fisika; penelitian tentang klorofil termasuk penelitian bidang botani atau biokimia; penelitian tentang bawah sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok persoalan alam dimaksudkan sebagai kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Anatomi dan fisiologi keduanya bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya, sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dapat dikatakan berbeda. Perbedaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak pertanyaan yang diajukan dan aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang dinamis.
Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Jadi, “sudut dari mana objek material itu disoroti disebut objek formal” (Poedjawijatna, 1991:41). Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa objek formallah yang membedakan antara ilmu yang satu dan ilmu lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, di antaranya : psikologi, antropologi, sosiologi, komunikasi. Ilmu yang mempelajari jiwa manusia dan tingkah lakunya adalah psikologi; ilmu yang mempelajari bermacam jenis manusia dan semua aspek dari pengalaman-pengalaman manusia adalah antropologi (Ember & Ember, 1981:3); ilmu yang mempelajari manusia dalam ikatan kelompok adalah sosiologi; dan ilmu yang mempelajari pernyataan antarmanusia adalah ilmu komunikasi.
Dari uraian di atas, jelas bahwa suatu objek formal dipunyai oleh satu bidang ilmu saja. Artinya, tidak mungkin ada dua atau lebih ilmu pengetahuan yang mempunyai objek formal yang sama. Jika ada ilmu yang mempunyai objek formal yang sama, kedua ilmu tadi pada dasarnya sama pula.
Objek formal suatu ilmu dapat dilihat dari batasan atau defenisi ilmu tersebut. Dengan kata lain, objek formal suatu ilmu adalah defenisi dari ilmu itu. Psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, apabila dihubungkan dengan syarat-syarat untuk bisa disebut ilmu, dapat memenuhi syarat pertama, yaitu psikologi mempunyai objek tertentu. Psikologi mempunyai objek material, yaitu manusia; dan objek formal atau sudut pandang keilmuannya, yaitu dari segi tingkah laku manusia. Objek itu bersifat empiris.

2.2.       Letak Psikologi Dalam Sistematika Ilmu
Bagaimana letak psikologi dalam sistematika ilmu? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak dapat lepas dari perkembangan ilmu pada umumnya. Untuk meninjau ini secara mendalam dapat dipelajari dalam sejarah psikologi. Tetapi dalam kesempatan ini bukanlah maksud penulis untuk mengemukakan tentang sejarah psikologi, namun hanya untuk sekedar memberikan gambaran sekilas tentang perkembangan psikologi.
Ditinjau secara historis dapat dikemukakan bahwa ilmu yang tertua adalah ilmu filsafat. Ilmu-ilmu yang lain tergabung dalam filsafat, dan filsafat merupakan satu-satunya ilmu pada waktu itu. Karena itu ilmu-ilmu yang tergabung dalam filsafat akan dipengaruhi oleh sifat-sifat dari filsafat. Demikian pula halnya dengan psikologi.
Tetapi lama kelamaan disadari bahwa filsafat sebagai satu-satunya ilmu kurang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Disadari bahwa hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan tidak cukup lagi hanya diterangkan dengan filsafat. Dengan demikian maka kemudian ilmu pengetahuan alam misalnya memisahkan diri dari filsafat, dan berdiri sendiri sebagai ilmu yang mandiri (Marx, 1976). Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan alam membutuhkan hal-hal yang bersifat objektif, yang bersifat positif dan ini tidak dapat dicapai dengan menggunakan filsafat. Demikianlah maka kemudian ilmu-ilmu yang lain juga memisahkan diri dari filsafat termasuk pula psikologi. Psikologi yang mula-mula tergabung dalam filsafat, akhirnya memisahkan diri dan berdiri sendiri sebagai ilmu yang mandiri. Hal ini adalah jasa dari Wilhelm Wundt yang mendirikan laboratorium psikologi yang pertama-tama pada tahun 1879 di Leipzig untuk meneliti peristiwa-peristiwa kejiwaan secara eksperimental.
Wundt sebenarnya bukan seorang ahli dalam bidang psikologi melainkan seorang fisiologi haruslah berdiri sendiri sebagai suatu ilmu pengetahuan yang tidak tergabung atau tergantung kepada ilmu-ilmu yang lain. Di dalam laboraturiumnya, Wundt mengadakan eksperimen-eksperimen dalam rangka penelitian-penelitiannya, sehingga beliau dipandang sebagai bapak dari psikologi eksperimental. Tetapi ini tidak berarti bahwa baru pada Wundt-lah dimulai eksperimen-eksperimen, sebab telah ada ahli ahli lain yang merintisnya antara lain Fechner dan Helmholtz. Namun demikian baru pada Wundt-lah penelitian dilakukan secara laboratorium eksperimental yang lebihn intensif dan sistematis. Laboratorium Wundt kemudian menjadi pusat penelitian dari banyak ahli untuk mengadakan kemudian menjadi pusat penelitian dari banyak ahli untuk mengadakan eksperimen-eksperimen antara lain Kraeplin, Kulpe, Meummann, Marbe. Dengan perkembangan ini maka berubahlah psikologi yang tadinya bersifat filosofis menjadi psikologi yang bersifat empiris. Kalau mula-mula psikologi kemudian mendasarkan atas hal-hal yang objektif. Hal-hal yang positif, dan kemudian makin berkembanglah psikologi empiris itu. Perkembangan ilmu fisika (physical science) dan ilmu kimia (chemistry) mempengaruhi timbulnya ilmu biologi (biological science). Sebab satu dari ilmu biologi adalah ilmu perilaku (behavioral science) dalam kaitan ini, maka psikologi merupaka salah satu yang termasuk dalam ilmu perilaku, di samping antropologi dan sosiologi (Marx, 1976). Dengan demikian maka akan jelas bahwa psikologi sebagai suatu ilmu, merupakan ilmu tentang perilaku dan merupakan ilmu yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam ilmu-ilmu yang lain.


2.3.       Hubungan Psikologi dengan Ilmu Lainnya
Psikologi beserta sub-sub ilmunya, pada dasarnya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lain. Hubungan itu biasanya bersifat timbale balik. Psikologi memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain, dan sebaliknya, ilmu-ilmu lain juga memerlukan bantuan psikologi.
Psikologi merupakan ilmu yang telah mandiri, tidak tergabung dengan ilmu-ilmu lain. Namun demikian tidak boleh dipandang bahwa psikologi itu sama sekali terlepas dari ilmu-ilmu lain. Dalam hal ini psikologi masih mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu tersebut.
Psikologi sebagai ilmu yang meneropong atau mempelajari keadaan manusia, sudah tentu psikologi mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia. Hal ini akan memberi gambaran bahwa manusia sebagai makhluk hidup tidak hanya dipelajari oleh psikologi saja, tetapi juga dipelajari oleh ilmu-ilmu lain. Manusia sebagai makhluk budaya maka psikologi akan mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu kebudayaan, dengan filsafat, dengan antropologi. Berikut penjelasan mengenai hubungan psikologi dengan beberapa ilmu pengetahuan.
a.    Hubungan Psikologi dengan Biologi
Biologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan. Semua benda yang hidup menjadi objek dari biologi. Oleh karena biologi berobjekkan benda-benda yang hidup, maka cukup banyak ilmu yang tergabung di dalamnya. Oleh karena itu baik biologi maupun psikologi sama-sama membicarakan manusia. Sekalipun masing-masing ilmu tersebut meninjau dari sudut yang berlainan, namun pada segi-segi yang tertentu kadang-kadang kedua ilmu itu ada titik-titik pertemuan. Biologi, khususnya antropobiologi tidak mempelajari tentang proses-proses kejiwaan, dan inilah yang dipelajari oleh psikologi.
Seperti telah dikemukakan d atas, di samping adanya hal-hal yang berlainan tampak pula adanya hal-hal yang sama-sama dipelajari atau diperbincangkan oleh kedua ilmu itu, misalnya soal keturunan. Mengenai soal keturunan baik psikologi ataupun antropobiologi juga membicarakan mengenai hal ini. Soal keturunan ditinjau dari segi biologi ialah hal-hal yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan yang turun temurun dari suatu generasi ke generasi lain;  mengenai soal ini misalnya yang terkenal adalah hukum Mendel. Soal keturunan juga dipelajari oleh psikologi antara lain misalnya sifat, intelegensi, bakat. Karena itu kuranglah sempurna biologi khususnya antropobiologi maupun fisiologi, justru karena ilmu-ilmu ini membantu di dalam orang mempelajari psikologi.
Sejauh mana hubungan psikologi dengan biologi? Biologi mempelajari kehidupan jasmaniah manusia atau hewan, yang bila dilihat dari objek materialnya, terdapat bidang yang sama dengan psikologi; hanya saja objek formalnya berbeda. Objek formal biologi adalah kehidupan jasmaniah (fisik), sedangkan objek formal psikologi adalah kegiatan atau tingkah laku manusia.
Menurut Bonner (dalam Sarwono, 1997:17), perbedaan psikologi dan biologi adalah sebagai berikut. Psikologi merupakan ilmu yang subjektif, sedangkan biologi adalah ilmu yang objektif. Psikologi disebut ilmu subjektif karena mempelajari penginderaan (sensation) dan persepsi manusia sehingga manusia dianggap sebagai subjek atau pelaku, bukan objek. Sebaliknya, biologi mempelajari manusia sebagai jasad atau objek. Jadi, perbedaan selanjutnya antara psikologi dan biologi adalah psikologi mempelajari nilai-nilai yang berkembang dari persepsi subjek, sementara biologi mempelajari fakta yang diperoleh dari penelitian terhadap jasad manusia. Yang terakhir adalah psikologi mempelajari perilaku secara “molar” (perilaku penyesuaian diri secara menyeluruh), sementara biologi (termasuk ilmu faal) mempelajari perilaku manusia secara “molekular”, yaitu mempelajari molekul-molekul (bagian-bagian) dan perilaku berupa garakan, refleks, proses ketubuhan, dan sebagainya.
Menurut jurnal dari Jean Piaget yang berjudul “Relation Between Psychology and other science” hubungan psikologi dengan biologi sebagai berikut :
In the relations between psychology and biology these two-way exchanges are particularly striking. It might seem that psychology was completely subordinated to such sciences of organic life as physiology, studies of epigenesis and genetics (extending to analysis of the genome). But we now know well that there is much feedback from behavior to details of organization of the brain and nervous system (see among others the research of Rosenzweig, Krech and Bennett; this and related work is reviewed in the chapter by Hunt in this volume). Psychosomatic medicine shows the existence of even more extensive interactions. Ethology is a branch of both psychology and general biology. As to heredity, it is not clear that its mechanisms are exactly the same for transmission of purely morphological characteristics (a color, the form of a particular organ, etc) or for the formation of general organs that condition behavior (locomotion, etc).
We know now that behavior is not simply a result of evolution but is one of the factors that govern evolution. I have in fact written a small book-rather speculative, it is true-to argue that behavior actually is the main driving force behind evolution. It therefore seems probable that the better one knows these connections, the greater will be the influence of causal explanations from psychology on the interpretation of the central mechanisms that biology studies. In turn it seems evident to me that if contemporary psychologists had more knowledge of biology, there would be fewer partisans of pure behaviorism, and Skinner's "black box" would be furnished with more fruitful hypotheses.

Dalam hubungan antara psikologi dan biologi pertukaran dua arah ini sangat mencolok . Ini mungkin tampak bahwa psikologi benar-benar tunduk kepada ilmu-ilmu seperti hidup organik sebagai fisiologi , studi epigenesis dan genetika ( memperluas analisis genom ) . Tapi kita sekarang tahu dengan baik bahwa ada banyak umpan balik dari perilaku rincian organisasi otak dan sistem saraf (lihat antara lain penelitian Rosenzweig , Krech dan Bennett , ini dan kerja terkait ditinjau dalam bab oleh berburu dalam buku ini ) . Obat psikosomatis menunjukkan adanya interaksi yang lebih luas . Etologi adalah cabang dari kedua psikologi dan biologi umum . Seperti faktor keturunan , tidak jelas bahwa mekanisme yang persis sama untuk transmisi karakteristik murni morfologi ( warna , bentuk organ tertentu , dll ) atau untuk  pembentukan organ umum dalam perilaku kondisi ( gerak , dll) .
Kita tahu sekarang bahwa perilaku bukan hanya hasil dari evolusi tetapi merupakan salah satu Faktor-faktor yang mengatur evolusi . Saya sebenarnya menulis buku - agak spekulatif , itu benar - berdebat perilaku yang benar-benar merupakan kekuatan pendorong utama di balik evolusi kecil . Karena itu tampaknya mungkin bahwa satu lebih baik tahu hubungan ini , semakin besar akan menjadi pengaruh penjelasan kausal dari psikologi pada interpretasi mekanisme sentral bahwa studi biologi . Pada gilirannya tampak jelas bagi saya bahwa jika psikolog kontemporer memiliki pengetahuan lebih tentang biologi , akan ada lebih sedikit partisan behaviorisme murni , dan " kotak hitam " Skinner akan dilengkapi dengan hipotesis lebih bermanfaat .
b.   Hubungan Psikologi dengan Sosiologi
Manusia sebagai makhluk sosial juga menjadi objek dari sosiologi. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia, mempelajari manusia di dalam hidup bermasyarakatnya. Karena itu baik psikologi maupun sosiologi yang membicarakan manusia, tidaklah mengherankan kalau pada suatu waktu adanya titik-titik pertemuan di dalam meninjau manusia itu, misalnya soal perilaku. Tinjauan sosiologi yang penting ialah hidup bermasyarakatnya, sedang tinjauan psikologi adalah bahwa perilaku sebagai manifestasi hidup kejiwaan, yang di dorong oleh motif tertentu hingga manusia itu berperilaku atau berbuat.
Karena ada titik-titik kesamaan maka timbulah cabang ilmu pengetahuan dalam psikologi yaitu psikologi sosial yang khusus meneliti dan mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan situasi-situasi sosial. Menurut Gerungan pertemuan antara psikologi dan sosiologi itulah merupakan daerah dari psikologi sosial.
Perilaku manusia tidak terlepas dari keadaan sekitarnya, karena itu tidaklah sempurna meninjau manusia berdiri sendiri terlepas dari masyarakat yang melatar belakanginya.
c.    Hubungan Psikologi dengan Antropologi
Harus kita akui bahwa bantuan psikologi terhadap antropologi sangatlah besar, sehingga dalam perkembangannya yang terakhir, lahir suatu sub-ilmu ataub spesialisasi dari antropologi yang disebut etnopsikologi (ethnopsychology), atau anthropology psikologikal (psychological anthropology), atau juga studi kebudayaan dan kepribadian (study of culture and personality), disamping spesialisasi anthropology in mental health (Hsu,1961;Bornouw, 1963;Clifton, 1968;Koentjaraningrat 1980; Effendi & Praja, 1993).
Sejak setengah abad lalu, di Amerika Serikat dan Inggris telah berkembang berbagai penelitian yang dalam analisisnya menggunakan banyak konsep psikologi.berbagai penelitian itu dimulai karena timbulnya perhatian terhadap tiga masalah, yaitu:
1.    Masalah “kepribadian bangsa”;
2.    Masalah peranan individu dalam proses perubahan adat istiadat; dan
3.    Masalah nilai universal dari konsep-konsep psikologi.
Persoalan “kepribadian bangsa” muncul tatkala hubungan antarbangsa mulai kian intensif, terutama sesudah Perang Dunia ke-1. Sebelum itu, orang Eropa juga menaruh perhatian terhadap masalah kepribadian bangsa-bangsa ditanah jajahan mereka. Deskripsi tentang kepribadian suatu bangsa dalam karangan-karangan etnografi zaman lampau itu biasanya menggunakan berbagai konsep dan istilah yang tak cermat dan kasar. Istilah tersebut mengenai menggunakan metode-metode ilmu social untuk menopang kesimpulan umum yang bersifat subjektif tentang perbedaan jenis kepribadian antarmasyarakat yang kompleks. Orang Belanda yang menjajah bangsa Indonesia misalnya, melukiskan kepribadian suku bangsa Jawa sebagai malas, tak aktif, tak bergairah dalam tindakan (indolent), dan tidak jujur. Selain cirri-ciri kepribadian yang negative, tiap konsepyang dipakai dalam pelukisan seperti itu pun tidak cermat dipandang dari sudut ilmu psikologi. Istilah “tidak jujur”, misalnya sangat tidak cermat bila dipandang dari sudut psikologi.
Menyadari kekurangan ini, ada beberapa ahli antropologi, sekitar tahun1920, yang berhasrat untuk mendeskripsi kepribadian bangsa dengan lebih cermat. Selain itu, mereka juga mempersoalkan secara ilmiah, apakah konsep “kepribadian bangsa” itu bener-benar ada. Sebab, dalam kenyataannya tentu ada orang Jawa yang mempunyai etos kerja tinggi, jujur, lincah dan bergairah dalam tindakan-tindakannya; lalu timbullah pertanyaan, bilamana suatu ciri bangsa atau suku bangsa, dan sampai berapa jauhkah perkecualian terhadap kepribadian umum pada individu tertentu sebagai warga bangsa itu? Untuk mempelajari persoalan seperti itu, seorang ahli antropologi tentu perlu mengetahui banyak tentang ilmu psikologi serta konsep dan teori-teori yang dikembangkan didalamnya.
Studi tentang “kepribadian bangsa” ini juga disinggung oleh Carol R.Ember dan Melvin Ember (Ihromi,1981). Dalam tulisannya, “Theory and Method in Cultural Anthropology”, khususnya mengenai hubungan kebudayaan dan kepribadian, disebutkan bahwa focus yang khusus dari studi-studi permulaan, awal tahun 1920-an, adalah tentang pengalaman masa kanak-kanak dan bahwa pengalaman tersebut tampaknya mempengaruhi perilaku setelah dewasa.
Sebelum ini, tutur mereka, para ahli anthropology tidak mencatat kebiasaan-kebiasaan pengasuh anak-anak sebagai aspek penting dari kebudayaan tetapi kemudian dibawah pengaruh Freud dan penulis mengenai teori pendidikan, John Dewey, para ahli antropologi menjadi tertarik pada lingkungan kebudayaan dari bayi atau kanak-kanak, dan masa itu dianggap sangat penting artinya bagi pembentukan kepribadian dewasa yang khas dalam suatu masyarakat.
Pada tahun 1930-an dan 1940-an, dalam seminar di Universitas Columbia,Ralph Linton, seorang ahli antropologi dan Abram Kardiner, seorang ahli psikologi analisis, mengembangkan sejumlah pemikiran untuk studi kebudayaan dan kepribadian. Yang terpenting adalah pemikiran Kardiner. Yang mengutarakan bahwa semua warga masyarakat memiliki struktur kepribadian yang sama karena para warga masyarakat itu cendrung menjalani latihan yang sama mengenai cara buang air besar/kecil, menjalani cara menertibkan yang sama dalam masa kanak-kanak, cara menyapih yang sama dan sebagainya, sebagai orang dewasa, mereka cenderung mempunyai unsure-unsur kepribadian yang sama.
Menurut Ember & Ember, selama Perang Dunia ke-2, dan tidak lama sesudahnya, orientasi studi kebudayaan dan kepribadian itu diterapkan pada masyarakat yang kompleks. Hamper semua penelitian yang mendalami “kepribadian bangsa” menyimpulkan bahwa cirri-ciri kepribadian yang tampak berbeda, pada bangsa dunia-dunia ini, bersumber pada cara pengasuhan masa kanak-kanak. Misalnya, dalam tiga penelitian dikemukaakan bahwa orang yang dewasa menjadi bersifat memaksakan kehendaknya karena ketatnya latihan mengenai cara-cara buang air, yang mereka terima pada masa kanak-kanaknya. Demikian pula emosi manic depresif yang dianggap biasa diantara orang-orang Rusia menurut Gorer dan Richman, bersumber pada cara pemeliharaan bayi, yaitu “dibedong” sejak saat kelahiran. Membedong adalah meliliti bayi dengan carikan-carikan kain sedemikian rupa, sehingga tangan dan kaki bayi tidak dapat bergerak bebas, dan ini katanya menyebabkan kemarahan dan frustasi pada bayi yang kemudian hari, setelah dewasa, diekspresikan dalam manic depresif.
Saying, kata Ember & Ember, bahwa para peneliti tentang sifat keras orang Jepang tersebut tidak dapat melaksanakan penelitian lapangan lebih lanjut karena meletusnya Perang Dunia ke-2. Ahli Antropologi yang mempelajari kepribadian orang Rusia, karena perang terpaksa juga memakai metode penelitian yang langsung. Kemudian,setelah para peneliti sudah dapat lagi mengumpulkan data dari tangan pertama dan mencari sampel yang lebih baik, ditemukan bahwa kesimpulan-kesimpulan penelitian di atas, tidak selalu dapat diandalkan. Contohnya, ternyata tidak benar apabila orang Jepang menjalani latihan yang ketat sekali mengenai cara-cara buang air. Pendek kata, penelitian mula-mula tentang kepribadian bangsa adalah percobaan yang masih “kasar”.
Dalam perkembangannya kemudian,focus pendekatan psikologis pada keanekaragaman kebudayaan,berubah. Perhatian pada teori-teori Freud dan minat terhadap hubungan antara pengasuhan semasa anak-anak dan kepribadian setelah dewasa, tetap dipertahankan, namun beberapa orang ahli antropologi mulai meneliti factor-faktor penentu apa saja yang mungkin menjadi penyebab dari kebiasaan pengasuhan anak-anak yang beraneka ragam itu.
Disamping penjajagan factor-faktor determinan dari pola pengasuhan anak yang beraneka ragam dalam melatih anak tersebut, studi akhir-akhir ini mengemukakan bahwa sifat kepribadian dan prosesnya mungkin menjadi penyebab hubungan tertentu antara beberapa pola kebudayaan. Cara berpikirnya adalah kebudayaan tertentu menghasilkan karekteristik psikologi tertentu, yang pada gilirannya menimbulkan cirri budaya lainnya.
Kesimpulan yang dibeikan Ember & Ember mengenai pendekatan psikologis dalam antropologi budaya adalah dengan menghubungkan variasi-variasi dalam pola-pola budaya dengan masa pengasuhan anak, kepribadian, kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin menjadi konsekuensi dari factor psikologis dan prosesnya.
Hubungan psikologi dengan antropologi, seperti telah disebutkan dimuka, juga dalam hal munculnya cabang baru antropologi, yaitu anthropology in mental health.
Bidang penelitian dan pembahasan anthropology in mental health ini lebih difokuskan pada emosi-emosi yang tertekan. Di antar berbagai penyakit jiwa (psikiater), ternyata ada yang tidak disebabkan oleh kelainan-kelainan biologis atau kerusakan dalam organism, melainkan karena jiwa dan emosi tertekan. Dan, keadaan jiwa yang yang tertekan ini lebih disebabkan oleh aspek-aspek social budaya. Aspek social budaya yang melatarbelakangi inilah yang merupakan kajian dari anthropology in mental health.

d.   Hubungan Psikologi dengan Filsafat
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan objek dari filsafat yang antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup manusia, dan sebagainya. Sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, karena metode yang ditempuh sebagai salah satu sebabnya, tetapi psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan  filsafat.
Bahkan sebetulnya dapat dikemukakan bahwa ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafat itupun tetap masih ada hubungan dengan filsafat terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat hakikat dan tujuan dari ilmu pengetahuan itu.
Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Dalam penyelidikannya, filsafat memang berangkat dari apa yang dialami manusia, karena tak ada pengetahuan jika tidak bersentuhan lebih dahulu dengan indra, sedangkan ilmu yang hendak menelaah hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan pikiran, tanpa menggunakan dalil dan hukum pikiran yang tidak mungkin dialaminya. Bahkan, ilmu dengan amat tenang, menerima sebagai kebenaran bahwa pikiran manusia itu ada serta mampu mencapai kebenaran; dan tidak pernah diselidiki oleh ilmu, sampai dimana dan bagaimana budi manusia dapat mencapai kebenaran itu.
Sebaliknya, filsafat pun memerlukan data dari ilmu. Jika, ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini, ilmu yang bernama psikologi akan menolong filsafat sebaik-baiknya dengan hasil penyelidikannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi (Poedjawijatna, 1991).
Dalam berbagai literatur disebutkan, sebelum menjadi disiplin ilmu yang sendiri, psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan filsafat yang hingga sekarang masih tampak pengaruhnya. Dalam ilmu kedokteran, psikologi berperan menjelaskan apa-apa yang terpikir dan terasa oleh organ-organ biologis (jasmaniah). Adapun dalam filsafat yang sebenarnya “ibu kandung” psikologi itu, psikologi berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan akal, kehendak, dan pengetahuan.
Bruno, seperti dikutip Syah (1995: 8), membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “roh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidupan mental”. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkah laku” organisme.
Pengertian pertama merupakan defenisi yang paling kuno dan klasik (bercita rasa tinggi dan bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato (427-437 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan dengan rohnya. Oleh karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia merupakan bagian dari studi roh.
e.    Hubungan Psikologi dengan Agama
Menurut jurnal “The Psychology of Religion” dari Robert A. Emmons and Raymond F. Paloutzian.

Religion, among the most powerful of all social forces and here as long as there have been human beings [e.g., it has been suggested that humans be thought of as Homo religiosus because religion has been present as long as there have been Homo sapiens (Albright & Ashbrook 2001)] and showing no sign of going away, is among them. Following the lead of Gordon Allport, in which religiousness was found to be related in important but nonobvious ways to racial prejudice (Allport 1954, Allport & Ross 1967), the dramatic recent growth of the field began.
Agama, salah satu yang paling kuat dari semua kekuatan sosial dan di sini asalkan ada manusia [misalnya, telah menyarankan bahwa manusia dianggap sebagai Homo religiosus karena agama telah hadir selama ada Homo sapiens (Albright Ashbrook & 2001)] dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi, ada di antara mereka. Mengikuti jejak dari Gordon Allport, di mana religiusitas yang ditemukan berhubungan dengan cara-cara penting namun yang belum ada prasangka rasial (Allport 1954, Allport & Ross 1967), pertumbuhan baru-baru dramatis lapangan dimulai.

Psikologi dan agama merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya, mengingat agama sejak turunnya kepada Rasul diajarkan kepada manusia dengan dasar-dasar yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi psikologis pula. Tanpa dasar tersebut agama sulit mendapat tempat di dalam jiwa manusia. Di dalam agama terdapat ajaran tentang cara agar manusia mau menerima petunjuk Tuhannya sehingga manusia itu sendiri tanpa paksaan bersedia menjadi hamba-Nya yang baik dan taat. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa di dalam agama, penuh dengan unsur-unsur pedagogis yang bahkan merupakan esensi pokok dari tujuan agama diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Unsur pedagogis dalam agama tidak dapat mempengaruhi manusia, kecuali bila disampaikan kepadanya sesuai dengan petunjuk-petunjuk psikologi (dalam hal ini psikologi pendidikan)
Contoh bahwa psikologi dan agama mempunyai hubungan erat dalam memberikan bimbingan manusia adalah terhadap manusia yang melanggar norma-norma yang oleh agama dipandang berdosa.  Perasaan berdosa ada manusia yang melanggar norma tersebut dapat mengakibatkan perasaan nestapa dalam dirinya meskipun hukuman lahiriah tidak diberikan terhadapnya. Psikologi memandang bahwa orang yang berdosa itu telah menghukum dirinya sendiri, karena dengan perbuatan pelanggaran tersebut, jiwa mereka menjadi tertekan, kotor dan gelap apabila yang bersangkutan tidak dapat menyublimasikan (mengalihkan kepada perbuatan yang lebih baik) perasaannya akan mengakibatkan semacam penyakit jiwa (psichistania) yang merugikan dirinya sendiri. Dalam hal demikian itulah pendidikan agama sangat diperlukan memberikan jalan sublimatif serta katalisasi (pembersihan jiwa) orang yang menderita dosa. Maka mengingat eratnya hubungan antar keduanya itu, akhirnya lahirlah psikologi agama (Psychology of Religion), yang objek pembahasannya antara lain bagaimanakah perkembangan kepercayaan kepada Tuhan dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan kapan terjadi kemantapan hidup keagamaan seseorang, bagaimana perbedaan tingkah laku orang yang beragama dengan yang tidak beragama dan lain sebagainya.
f.     Hubungan Psikologi dengan Ilmu Alam
Pada permulaan abad ke-19, psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu alam. Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen, sehingga lahirlah, antara lain Gustav Fechner, Johannes Muller, Watson, dan lain-lain (Effendi & Praja, 1993:8-9). Namun kemudian, psikologi menyadari bahwa objek penyelidikannya adalah manusia dan tingkah lakunya yang hidup dan selalu berkembang sedangkan objek ilmu alam adalah benda mati. Oleh sebab itu, metode ilmu alam yang dicoba diharapkan dalam psikologi, dianggap kurang tepat. Karena itu, psikologi mencari metode lain yang sesuai dengan sifat keilmuannya sendiri, yaitu antara lain metode”fenomenologi”, suatu metode penelitian yang menitikberatkan gejala hidup kejiwaan.
Pada dasarnya, psikologi secara prinsipil dan secara metodik, sangat berbeda dengan ilmu alam. Sebabnya antara lain, pada ilmu pengetahuan alam orang meneliti objek secara ilmiah dengan menggunakan hokum-hukum dan gejala-gejala penampakan yang bisa diamati dengan cermat.
Pada peristiwa-peristiwa ilmu alam, terdapat unsur-unsur kemantapan, konstansi dan kosistensi yaitu semua gejalanya bisa berlangsung secara berulang-ulang dan bisa tetap sama. Dengan cirri-ciri inilah, orang bisa mengamati dan memperhitungkan dengan cermat, dan membuat hokum-hukum alam. Lebih –lebih dengan bantuan pengertian logis serta perhitungan ilmu pasti, orang mencoba memahami sifat dan hakikat objek penelitiannya.
Sebaliknya, psikologi berusaha mempelajari diri manusia, tidak sebagai “objek” murni tetapi dalam bentuk kemanusiaannya mempelajari manusia sebagai subjek yang aktif dan mempunyai sifat-sifat tertentu sebjek yang aktif itu diartikan sebagai pelaku yang dinamis, dengan segala macam aktivitas dan pengalamannya. Dengan demikian, untuk mampu memahami semua kegiatan manusia itu, orang berusaha dengan melihat “partisipasi social” nya lalu berusaha menjadikan pengalaman orang lain sebagai pengalaman dan pemiliknya sendiri.
Ilmu pengetahuan alam mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologi. Dengan memisahkan diri dari filsafat, ilmu pengetahuan alam mengalami kemajuan yang cukup cepat, hingga ilmu pengetahuan alam menjadi contoh bagi perkembangan ilmu-ilmu lain, termasuk psikologi, khususnya metode ilmu pengetahuan alam mempengaruhi perkembangan metode dalam psikologi. Karenanya sementara ahli beranggapan kalau psikologi ingin mendapatkan kemajuan haruslah mengikuti cara kerja yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan alam. Apa yang ditempuh oleh Weber, Fechner, Wundt sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam lapangan ilmu pengetahuan alam. Metode yang ditempuh oleh Fechner yang dikenal dengan metode psikofisik, suatu metode yang tertua dalam lapangan psikologi eksperimental, banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam (Woodworth, 1951). Merupakan suatu kenyataan karena pengaruh ilmu pengetahuan alam, psikologi mendapatkan kemajuan yang cukup cepat, sehingga akhirnya dapat diakui sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri terlepas dari filsafat; walaupun akhirnya ternyata bahwa metode ilmu pengetahuan alam kurang mungkin digunakan seluruhnya terhadap psikologi, disebabkan karena perbedaan dalam objeknya. Ilmu pengetahuan alam berobjekkan benda-benda mati, sedangkan psikologi berobjekkan manusia yang hisup, sebagai makhluk yang dinamis, makhluk yang berkebudayaan, makhluk yang berkembang dan dapat berubah setiap saat.

g.    Hubungan Psikologi dengan Ilmu Pendidikan
Sebenarnya, psikologi dan ilmu pendidikan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengapa? Karena keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Ilmu pendidikan sebagai suatu disiplin bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak ia lahir sampai mati. Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik bilaman tida berdasarkan kepada psikologi perkembangan. Demikian pula watak dan kepribadian seseorang ditunjukkan oleh psikologi. Karena begitu eratnya tugas anatara psikologi dan ilmu pendidikan, kemudian lahirlah suatu subdisiplin psikologi pendididkan (educational psychology).
Reber(1998) menyebut psikologi pendidikan sebagai subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal berikut:
1.    Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
2.    Pengembangan dan pembaruan kurikulum.
3.    Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan.
4.    Sosialisasi proses-proses dan interaksi dengan pendayagunaan ranah kognitif.
5.    Penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Dengan batasan atau pengertian di atas, Reber tampaknya menganggap bahwa psikologi pendidikan masuk dalam subdisiplin psikologi terapan (applicable).
Meskipun demikian, menurut Witherington (1991:12-13), psikologi pendidikan tidak dapat hanya dianggap sebagai psikologi yang dipraktikkan saja. Psikologi pendidikan, katanyaadalah suatu studi atau suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai hak hidup sendiri. Memang benar bahwa aspek-aspek tertentu dari psikologi pendidikan nyata-nyata bersifat kefilsafatan, tetapi sebagai ilmu pengetahuan, sebagai science, psikologi pendidikan telah memiliki:
1.   Susunan prinsip atau kebenaran dasar tersendiri.
2.   Fakta-fakta yang bersifat objektif dan dapat diperiksa kebenarannya, dan
3.   Teknik-teknik yang berguna untuk melakukan penyelidikan atau “research”nya sendiri termasuk dalam hal ini ialah alat-alat pengukur dan penilaian yang sampai batas-batas tertentu dapat dipertanggungjawabkan ketepatannya.
Di anatara alat-alat pengukur dan alat penilai ini, terdapat tes tentang hasil perkembangan jiwa anak dan tes tentang hasil belajar anak. Kedua tes ini lazim disusun dengan sangat hati-hati. Di laboratorium, misalnya untuk mengetahui ada atau tidaknya kesalahan mekanis dalam kebiasaan membaca anak-anak, diadakan pemotretan terhadap gerakan mata anak-anak pada waktu membaca dengan mempergunakan ophthalmograph. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan suara yang menyenangkan dan untuk memperoleh pemilihan kata-kata yang tepat pada waktu berbicara, diadakan perekaman terhadap latihan-latihan bercakap yang dilakukan.
Jadi, meskipun psikologi pendidikan cenderung dianggap oleh banyak kalangan atau para ahli psikologi, termasuk ahli psikologi pendidikan sendiri sebagai subdisiplin psikologi yang bersifat terapan atau psikis, bukan teoretis, cabang psikologi ini dipandang telah memiliki konsep, teori, dan metode sendiri, sehingga mestinya tidak lagi dianggap sebagai subdisiplin tetapi disiplin (cabang ilmu) yang berdiri sendiri.

h.   Hubungan Psikologi dengan Komunikasi
Banyak ilmuan dari berbagai disiplin memberikan sumbangan kepada ilmu komunikasi, antara lain Harold D.Lasswell (ilmu politik), Max Weber, Daniel Larner, dan Everett M.Rogers (sosiologi), Carl I.Hovland dan Paul Lazarfeld (psikologi), Wilbur Schramm (bahasa), serta Shannon dan Weaver (matematika dan teknik). Tidak mengherankan bila banyak disiplin telah terlibat dalam studi komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menurut Fisher (1986:17) bermakna bahwa komunikasi memang mencakup semuanya, dan bersifat sangat eklektif (mengembangkan beberapa bidang).
Sifat eklektif ilmu komunikasi dikatakan oleh Schramm (1980) sebagai “Jalan simpang paling ramai dengan segala disiplin yang melintasinya”. Scharamm mengumpamakan ilmu komunikasi sebagai ilmu oasis, yang merupakan persimpangan jalan, tempat bertemunya berbagai ilmu (musafir) yang tengah dalam perjalanan menuju tujuan ilmunya masing-masing. Meskipun musafir itu ada yang hanya singgah sejenak, sumber daya dan ilmu yang dikembangkannya ketika berhenti disana, membantu pertumbuhan ilmu/disiplin ilmu si musafir selanjutnya dan sekaligus memperkaya oasis tersebut.
Apabila kita cermati, eklektisme komunikasi sebagai suatu bidang studi, tampak pada konsep-konsep komunikasi yang berkembang selama ini yang berhasil dirangkum oleh Fisher(1984) dalam empat kelompok yang disebutnya perspektif(semacam pradigma, teori, atau model). Keempat perspektif itu ialah: (1) perspektif mekanistis, (2) perspektif psikologis, (3) perspektif interaksional, dan (4) perspektif pragmatis.
Pengaruh konsep ilmu fisika sangat kelihatan pada perspektif mekanistis, yang merupakan perspektif paling awal dan paling luas penganutnya. Lalu pengaruh psikologi paling jelas pada perspektif psikologis yang merupakan pengembangan dari perspektif mekanistis dengan menerapkan teori S-R (Stimuli-Respons). Kedua perspektif ini berkembang dan telah melahirkan banyak kajian.
Seperti halnya psikologi, ilmu komunikasi yang telah tumbuh sebagai ilmu yang berdiri sendiri kemudian melakukan “perkawinan” dengan ilmu-ilmu lainnya yang pada gilirannya melahirkan berbagai subdisiplin seperti komunikasi politik (dengan ilmu politik), sosiologi komunikasi massa (dengan sosiologi), dan psikologi komunikasi (dengan psikologi). Dengan demikian, psikologi komunikasi (dengan psikologi) pun didefinisikan sebagai “Ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi” (Rakhmat, 1994:9).
Komunikasi, menurut Rakhmat adalah peristiwa social peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Mencoba manganalisi peristiwa social secara psikologis, membawa kita pada psikologi sosial. Memang, bila ditanyakan letak psikologi komunikasi, kita cenderung meletakkannya sebagai bagian dari psikologi social . karena itu, menurut Jalaluddin Rakhmat, pendekatan psikologi social juga merupakan pendekatan psikologi komunikasi.

i.      Hubungan Psikologi dengan Ilmu Politik
Ilmu pengetahuan lain yang erat hubungannya dengan psikologi ialah ilmu politik. Kegunaan psikologi khususnya psikologi social dalam analisis politik jelas dapat kita ketahui apabila kita sadar bahwa analisis social-politik secara makro diisi dan diperkuat yang bersifat mikro. Psikologi social mengamati kegiatan manusia dari segi ekstern (lingkungan social,politik, peristiwa-peristiwa, gerakan-gerakan massa) maupun dari segi intern (kesehatan fisik perorangan, semangat, emosi).
Psikologi merupakan ilmu yang berperan penting dalam bidang politik, terutama yang dinamakan “massa psikologi”.
Justru karena prinsip-prinsip politik lebih luas daripada prinsip-prinsip hokum dan meliputi banyak hal yang berada diluar hokum dan masuk dalam yang lazim dinamakan “kebijaksanaan”, bagi para politisi, sangat penting apabila mereka dapat menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumya, dan dari golongan tertentu pada khususnya bahkan juga dari oknum tertentu.
Kerap terdengar suara dalam masyarakat bahwa tindakan tertentu pemerintah dinyatakan “psikologis” kurang baik. Biasanya, sura seperti ini tidak dijelaskan lebih lanjut, dan orang-orang dianggap dapat menangkap apa yang dimaksudkan.
Selain member berbagai pandangan baru dalam penelitian mengenai kepemimpinan, psikologi social dapat pula menerangkan sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan yang dianggapnya baru, asing, ataupun berlawanan dengan consensus masyarakat mengenai gejala sosial tertentu.
Psikologi sosial juga bisa menjelaskan bagaimana sikap (attitude) dan harapan (expectation) masyarakat dapat melahirkan tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh pada tuntutan social (conformity).
Salah satu konsep psikologi social yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum adalah berupa identifikasi partai. Konsep ini nerujuk pada persepsi pemilihan atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilihan terhadap partai tertentu.
Untuk memahami perilaku pemilih, nisa digunakan beberapa pendekatan. Namun selama ini, penjelasan teoritis tentang voting behavior didasarkan pada dua model atau pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi dan pendekatan psikologi (Asfar, 1996).
Dalam hal pendekatan psikologis, seperti namanyapedekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini, para pemilih AS menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variable yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.

2.4.       Hubungan Timbal Balik Psikologi Dengan Ilmu Lainnya
Seperti telah dikemukakan di atas psikologi mempunyai hubungan antara lain dengan biologi, sosiologi, antropologi, filsafat, agama, ilmu pengetahuan alam, ilmu pendidikan, ilmu komunikasi, dan ilmu politik, sehingga psikologi mempunyai hubungan timbal balik dengan ilmu-ilmu tersebut. Karena psikologi meneliti dan mempelajari manusia sebagai makhluk yang bersegi banyak, makhluk yang bersifat kompleks, maka psikologi harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain. Setiap cabang ilmu yang berhubungan dengan manusia akan kurang sempurna apabila tidak mengambil pelajaran dari psikologi. Dengan demikian akan terdapat hubungan yang timbal balik.
a.    Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Biologi
Hubungan timbal balik antara psikologi dengan biologi misalnya tentang keturunan, manusia yang dipelajari genetika dan embriologi termasuk kedalam ilmu biologi maupun psikologi. Dari segi ilmu biologi keturunan ditinjau dari hal-hal yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain, mengenai hal ini misalnya yang terkenal adalah hukum mendel. Soal keturunan juga dipelajari oleh psikologi antara lain  misalnya sifat, intelegensi dan bakat karena itu kurang sempurna kalau kita mempelajari Psikologi tanpa mempelajari Biologi karena ilmu terasebut membantu dalam mempelajari psikologi.
b.   Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Sosiologi
Antara Sosiologi dan Psikologi memiliki persamaan yaitu, sama-sama mempelajari tentang perilaku manusia. Karena itu baik psikologi maupun sosiologi sama-sama membicarakan manusia. Objek yang diamati membicarakan soal tingkah laku. Hubungan timbal baliknya karena adanya titik-titik pertemuan tersebut maka timbulah cabang ilmu pengetahuan dalam psikologi yaitu psikologi sosial yang khusus meneliti dan mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan situasi-situasi. Menurut Gerungan pertemuan antara Psikologi sosial dan sosiologi itulah merupakan daerah dari psikologi sosial.

c.    Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Antropologi
Hubungan timbal balik antara psikologi dan antropologi yaitu dengan menggunakan analisa psikologi. Sehingga ilmu antropologi dapat menganalisa secara mendalam apa saja yang terjadi di masa lalu. Bantuan psikologi terhadap antropologi sangatlah besar, sehingga dalam perkembangannya yang terakhir, lahir suatu  sub ilmu atau spesialisasi dari antropologi yaitu etnopsikologi atau antropologi psikologikal atau juga kebudayaan dan kepribadian. Selain itu hubungan psikologi dengan antropologi menghasilkan suatu cabang antropologi yang lain yaitu anthropology in mental health.
Antropologi dan psikologi saling berhubungan dalam penyelidikannya. Sejak setengah abad lalu, di Amerika dan Inggris telah berkembang berbagai penelitian antropologi yang alam analisisnya menggunakan banyak konsep psikologi. Tiga masalah yang menjadi fokus perhatian antropologi :
1.    Masalah “kepribadian bangsa”
2.    Masalah peranan individu dalam proses perubahan adat istiadat; dan
3.    Masalah nilai universal dari konsep-konsep psikologi

d.   Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Filsafat
Hubungan timbal balik antara psikologi dengan filsafat adalah manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan obyek dari filsafat yang antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, sekalipun akhirnya psikologi memisahkan diri dari filsafat tetapi disini hubungannya adalah bersifat timbal balik dan saling melengkapi antara keduanya, seperti :
·      Filsafat dapat berperan dalam menilai secara kritis apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang benar dalam ilmu psikologi;
·      Filsafat  mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab pertanyaan (masalah). Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari permasalahan kliennya;
·      Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya, filsafat tentang manusia akan “pincang” dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi.
·      Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi;
·      Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi;
·      Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut;
·      Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer;
·      Filsafat bisa memberikan kerangka berpikir yang radikal, sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh.

e.    Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Agama
Hubungan timbal balik antara psikologi dengan agama yaitu, psikologi dalam agama sangat penting perannya karena sebagai pembimbing untuk menuju kehidupan yang sesuai dengan kaidah-kaidah keagamaan. Agama diajarkan kepada manusia dengan dasar-dasar yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi psikologis. Tanpa dasar psikologi, agama sulit mendapat tempat didalam jiwa manusia. Dalam agama terdapat ajaran tentang cara manusia mau menerima petunjuk Tuhannya tanpa paksaan.

f.     Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Ilmu Alam
Para ahli beranggapan kalau psikologi ingin mendapatkan kemajuan haruslah mengikuti cara kerja yang ditempuh oleh Ilmu Pengetahuan Alam dan merupakan suatu kenyataan karena pengaruh ilmu pengetahuan alam, psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri terlepas dari filsafat.


g.    Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Ilmu Pendidikan
Hubungan timbal balik antara psikologi dengan ilmu pendidikan :
·      Penerapan prinsip-psinsip belajar dalam kelas
·      Pengembangan dan pembaruan kurikulum
·      Ujian dan evalusi bakat dan kemampuan
·      Sosialisasi proses-proses dan interaksi dengan perdayagunaan ranah kognitif
·      Penyelenggaraan pendidikan keguruan
Hubungan timbal balik antara psikologi dan ilmu pendidikan melahirkan Psikologi Pendidikan.

h.   Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Ilmu Komunikasi
Hubungan timbal balik antara psikologi dengan ilmu komunikasi melahirkan subdisiplin ilmu yang baru yaitu psikologi komunikasi. Psikologi komunikasi didefinisikan sebagai “Ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi”.

i.      Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Ilmu Politik
Hubungan timbal balik antara psikologi dan ilmu politik misalnya, negara dan lembaga politik lainnya merupakan produksi dari pemikiran manusia. Lembaga negara dan sistem politik akan sukses dengan iringan keselarasan mental masyarakat dalam negara. Kondisi psikologis aparatur negara yang baik akan menciptakan negara yang tentram dan ideal bagi masyarakat. Menurut Rakhmat komunikasi adalah peristiwa social peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Mencoba manganalisis peristiwa social secara psikologis, membawa kita pada psikologi sosial. Memang, bila ditanyakan letak psikologi komunikasi, kita cenderung meletakkannya sebagai bagian dari psikologi sosial. Karena itu, menurut Jalaluddin Rakhmat, pendekatan psikologi social juga merupakan pendekatan psikologi komunikasi.



BAB III
PENUTUP

3.1.       Ringkasan
Objek Psikologi
Objek dalam psikologi ada dua yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dibahas, dipelajari atau diselidiki, atau suatu unsur yang ditentukan, atau sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand). Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret (misalnya kerohanian, nilai-nilai, ide-ide). Gerungan merinci objek material pada fakta-fakta, gejala-gejala atau pokok-pokok yang nyata dipelajari dan diselidiki oleh ilmu pengetahuan. Sedangkan Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Jadi, “sudut dari mana objek material itu disoroti disebut objek formal”.
Objek formal suatu ilmu dapat dilihat dari batasan atau defenisi ilmu tersebut. Dengan kata lain, objek formal suatu ilmu adalah defenisi dari ilmu itu. Psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, apabila dihubungkan dengan syarat-syarat untuk bisa disebut ilmu, dapat memenuhi syarat pertama, yaitu psikologi mempunyai objek tertentu. Psikologi mempunyai objek material, yaitu manusia; dan objek formal atau sudut pandang keilmuannya, yaitu dari segi tingkah laku manusia. Objek itu bersifat empiris.
Letak Psikologi Dalam Sistematika Ilmu
·      Secara historis ilmu paling tua dan satu-satunya dalah filsafat, semua ilmu tergabung di dalamnya.
·      Filsafat disadari kurang dapat memenuhi kebutuhan manusia, hal-hal tentang kehidupan tidak cukup hanya diterangkan dengan filsafat.
·      IPA mulai memisahkan diri dan berdiri sebagai ilmu mandiri karena membutuhkan hal yang bersifat objektif dan positif, demikian juga ilmu lain termasuk psikologi.
·      Berubahlah psikologi yang bersifat filosofis menjadi empiris, awalnya berdasarkan renungan dan spekulasi menjadi objektif dan positif.
·      Sejak itu psikologi berdiri sendiri sebagai suatu ilmu tidak tergabung dengan yang lain.
Hubungan Psikologi dengan Ilmu Lain
·      Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari keadaan manusia tentunya memiliki hubungan dengan ilmu lain yang memiliki objek serupa.
·      Menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup tidak hanya dipelajari psikologi saja.
·      Ilmu psikologi yang meneropong atau mempelajari keadaan manusia mempunyai hubungan dengan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia.
·      Beberapa ilmu lain yang memiliki hubungan dengan psikologi antara lain :

1.    Biologi
2.    Sosiologi
3.    Antropologi
4.    Filsafat
5.    Agama
6.    Ilmu Pengetahuan Alam
7.    Ilmu Pendidikan
8.    Ilmu Komunikasi
9.    Ilmu Politik


1.    Hubungan Psikologi dengan Biologi
·      Biologi : ilmu yang mempelajari tentang kehidupan, semua benda hidup adalah objeknya.
·      Titik temu persamaan :
1.   Membicarakan tentang manusia
2.   Membicarakan tentang keturunan
·      Biologi ditinjau dari aspek kehidupan yang turun temurun dari generasi ke generasi lain.
·      Psikologi ditinjau dari aspek turun-temurun berupa sifat, intelegensi, bakat.
·      Dengan biologi khusunya antropobiologi dan fisiologis membantu orang dalam mempelajari psikologi.

2.    Hubungan Psikologi dengan Sosiologi
·      Sosiologi ilmu yang mempelajari manusia dalam hidup bermasyarakat, manusia sebagai makhluk soaial adalah objeknya.

·      Titik pertemuan persamaan :
1.   Membicarakan manusia
2.   Membicarakan tingkah laku
·      Sosiologi tinjauannya yang penting adalah pada hidup bermasyarakatnya.
·      Psikologi tinjauannya pada manifestasi kejiwaan didorong oleh motif tertentu dalam berbuat.
·      Titik pertemuan kedua ilmu memunculkan cabang ilmu “psikologi sosial” yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial.
·      Tingkah laku tidak dapat lepas dari keadaan sekitar, tidak sempurna jika meninjau manusia berdiri sendiri terlepas dari masyarakat yang melatarbelakanginya.

3.    Hubungan Psikologi dengan Antropologi
·      Sejak setengah abad lalu, di Amerika serikat dan Inggris berkembang berbagai penelitian antropologi yang dalam analisisnya menggunakan banyak konsep psikologi. Berbagai penelitian itu dimulai larena timbulnya perhatian terhadap tiga masalah yaitu :
1.    Masalah kepribadian bangsa
2.    Masalah peranan individu dalam proses perubahan adat istiadat
3.    Masalah nilai universal dari konsep-konsep psikologi

4.    Hubungan Psikologi dengan Filsafat
·      Filsafat : ilmu yang membicarakan tentang hakekat kodrat manusia, tujuan hidup manusia dan sebagainya, manusia sebagai makhluk hidup adalah objeknya.
·      Pada dasarnya ilmu-ilmu yang pernah tergabung dalam filsafat akan dipengaruhi oleh sifat-sifat dari filsafat, terutama mengenai hal-hal menyangkut sifat hakekat serta tujuan dari ilmu pengetahuan itu.
·      Meskipun memisahkan diri karena metode yang ditempuh sebagai salah satu sebabnya psikologi akan tetap mempunyai hubungan dengan filsafat.

5.    Hubungan Psikologi dengan Agama
·      Contoh bahwa psikologi dan agama mempunyai hubungan erat dalam memberikan bimbingan manusia adalah terhadap manusia yang melanggar norma-norma yang oleh agama dipandang berdosa.  Perasaan berdosa pada manusia yang melanggar norma tersebut dapat mengakibatkan perasaan nestapa dalam dirinya meskipun hukuman lahiriah tidak diberikan terhadapnya. Psikologi memandang bahwa orang yang berdosa itu telah menghukum dirinya sendiri, karena dengan perbuatan pelanggaran tersebut, jiwa mereka menjadi tertekan, kotor dan gelap apabila yang bersangkutan tidak dapat menyublimasikan (mengalihkan kepada perbuatan yang lebih baik) perasaannya akan mengakibatkan semacam penyakit jiwa (psichistania) yang merugikan dirinya sendiri.

6.    Hubungan Psikologi dengan IPA
·      Ilmu Pengetahuan Alam mengalami kemajuan yang cepat setelah memisahkan diri dengan filsafat ini menjadi contoh dan berpengaruh besar bagi perkembangan ilmu lain termasuk psikologi.
·      Metode IPA mempengaruhi perkembangan metode dalam psikologi seperti eksperimen, menjadi pencetus munculnya psikologi eksperimental yang membuat psikologi diakui sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
·      Meskipun metode IPA tidak seluruhnya dapat digunakan dalam psikologi karena perbedaan objeknya.
a.    IPA objeknya benda-benda mati
b.   Psikologi objeknya manusia yang hidup, sebagai makhluk dinamis, berkebudayaan, berkembang, dan dapat berubah setiap saat.

7.    Hubungan Psikologi dengan Ilmu Pendidikan
·      Psikologi dan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang timbal balik. Pendidikan tidak akan berhasil jika tidak berdasarkan pada psikologi perkembangan. Interaksi ini melahirkan sub disiplin psikologi yaitu psikologi pendidikan.
·      Ruber (1988) menyebutkan kegunaan psikologi pendidikan sebagai :
1.   Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas
2.   Pengembangan dan pembaharuan kurikulum
3.   Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan
4.   Sosialisasi proses-proses dan interaksi dengan pendayagunaan ranah kognitif
5.   Penyelenggaraan pendidikan keguruan

8.    Hubungan Psikologi dengan Ilmu Komunikasi
·      Psikologi berperan membangun ilmu komunikasi dimana interaksi manusia tidak terlepas dari adanya komunikasi. Pengaruh yang paling jelas dari psikologi nampak pada penggunaan persfektif stimulus respons.

9.    Hubungan Psikologi dengan Ilmu Politik
·      Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam bidang politik terutama yang dinamakan “massa psikologi” karena prinsip-prinsip politik lebih luas daripada prinsip-prinsip hukum dan meliputi banyak hal yang berada di luar hukum dan masuk dalam yang lazim dinamakan “kebijaksanaan” bagi para politisi sangat penting apabila mereka dapat menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumnya dan dari golongan tertentu pada khususnya, bahkan juga dari oknum tertentu.

Hubungan Timbal Balik Psikologi dengan Ilmu Lainnya
·      Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia yakni makhluk yang bersifat kompleks tentunya harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain diluar keempat ilmu yang sudah diuaraikan.
·      Sebaliknya setiap cabang ilmu yang berhubungan dengan manusia kurang sempurna jika tidak mengambil pelajaran dari psikologi.

3.2.  Contoh Soal
Pilihlah jawaban yang paling tepat dari soal pilihan ganda dibawah ini !
1.    Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia tentunya memiliki hubungan dengan…
a.    Ilmu lain yang memiliki objek serupa
b.    Ilmu lain yang memiliki objek yang banyak
c.    Ilmu lain yang memiliki penelitian yang serupa
d.   Ilmu lain yang memiliki pengertian yang sama
e.    Ilmu lain yang memiliki tahun berdiri yang sama

2.    Secara historis ilmu paling tua dan satu-satunya dan semua ilmu tergabung di dalamnya termasuk psikologi adalah…
a.    Biologi
b.   Filsafat
c.    Sosiologi
d.   Delphiology
e.    Javaxology
3.    Titik temu persamaan antara psikologi dengan biologi adalah …
a.    Membicarakan tentang perilaku
b.    Membicarakan tentang tingkah laku
c.    Membicarakan tentang keturunan
d.   Membicarakan tentang peranakan
e.    Membicarakan tentang lingkungan
4.    Tingkah laku tidak dapat lepas dari keadaan sekitar, maka…
a.    Psikologi objeknya manusia yang hidup, sebagai makhluk dinamis, berkebudayaan, berkembang, dan dapat berubah setiap saat.
b.    Cabang ilmu yang berhubungan dengan manusia kurang sempurna jika tidak mengambil pelajaran dari psikologi
c.    Tujan hidup manusia adalah  bergabung dengan masyarakat
d.   Tidak sempurna jika meninjau manusia beridiri sendiri terlepas dari masyarakat yang melatarbelakanginya
e.    Tidak sempurna jika meninjau manusia saja tanpa yang lainnya
5.    Perbedaan objek antara Psikologi dengan Ilmu pengetahuan alam adalah Ilmu pengetahuan alam objeknya benda mati, sedangkan…
a.    Cabang ilmu yang berhubungan dengan manusia kurang sempurna jika tidak mengambil pelajaran dari psikologi
b.    Tujan hidup manusia adalah  bergabung dengan masyarakat
c.    Tidak sempurna jika meninjau manusia beridiri sendiri terlepas dari masyarakat yang melatarbelakanginya
d.   Tidak sempurna jika meninjau manusia saja tanpa yang lainnya
e.    Psikologi objeknya manusia yang hidup, sebagai makhluk dinamis, berkebudayaan, berkembang, dan dapat berubah setiap saat.

6.    Objek dalam psikologi ada 2 yaitu...
a.    Objek formal dan objek konkret
b.    Objek sosial dan objek material
c.    Objek material dan objek formal
d.   Objek sosial dan objek informal
e.    Objek formal dan objek informal
7.    Hubungan timbal balik antara psikologi dengan ilmu pendidikan melahirkan subdisiplin ilmu baru yaitu...
a.    Psikologi Perkembangan
b.    Psikologi Belajar
c.    Psikologi Sosial
d.   Psikologi Pendidikan
e.    Psikologi Umum

1 komentar: